Saturday 20 April 2024

racau paradoksikal

Kupeluk tubuhku erat saat ruh semangat melayang dengan gontai meninggalkan raga yang tak berdaya ini. Bertahanlah, kata yang dirapalkannya berulangkali, terdengar semakin menjauh. Ruangan menjadi temaram seiring satu-satunya kobaran api harapan yang tersisa meredup.

Aku mendapati diriku sendirian, tiba-tiba sedang mengamati seluruh pikir dan rasa di dalam benakku diproyeksikan dalam layar tancap raksasa menyilaukan, berkecamuk di depan mataku layaknya kaleidoskop. Menarik, memukau, memusingkan. Menghanyutkan. Mereka berjalan cepat dan setiap warna yang menyusunnya meninggalkan kilatan. Bayangan-bayangan kabur yang silau menusuk pelipisku dan suara-suara berisik membuat rongga telingaku berdenging. Bagaimana aku bisa menceritakannya padamu saat aku menjadi penonton tunggal mahakarya yang kejam ini?

Sakit yang dirasakan ragaku mungkin tak seberapa. Bertubi-tubi hidup mencambukku dan sebuah keajaiban tubuh yang rapuh ini berhasil bertahan. Merintih saat sekarat saja bagiku rasanya tak pantas, apalagi mengharapkan kematian. Sedalam apapun derita yang kualami, menyerah bukan pilihan. Namun ketahuilah, bukan karena aku tak mau, tetapi karena hidup tak memberikan pilihan itu.

Kata orang-orang, hidup itu sendiri adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan. Dari sudut pandang yang berbeda-beda, aku mengamininya. Kata orang-orang juga, takdir apapun yang terjadi pada diri kita adalah sebaik-baiknya rencana milik Sang Maha Pencipta. Bagi pernyataan ini, separuh imanku meyakininya. Tapi imanku tak utuh, sisanya percaya bahwa aku pantas mendapatkan takdir yang lebih baik lagi, yang tak dipenuhi tragedi.

Di masa-masa terkelamku, aku sadar bahwa hanya Tuhan yang bisa memberikan pertolongan kepadaku. Tapi bahasa Tuhan tidak sepenuhnya kumengerti dengan keterbatasan diri yang lemah dan tak sempurna ini. Bersama namaku, bersanding jutaan luka yang berwujud bahkan bernama ilmiah, juga luka-luka yang tak terlihat dan tak terjelaskan.

Luka di organ faalku tak sedikit, tetapi isi benakku lah yang menaburkan garam ke luka di sekujur tubuhku. Jika pujangga yang berkata pikiran dapat membunuh memang berbicara sebenar-benarnya, maka aku sudah mati terbunuh entah beberapa waktu lalu. Setan menyusup ke saraf-saraf dan menertawaiku saat mereka mengusik pikiranku. Setengah mati aku berjuang hanya untuk mengusir mereka dan memanggil nama Tuhan Yang Maha Suci.

Dalam secercah api harapan yang sudah redup tadi, aku menambang kehangatan. Dalam berkas-berkas tayangan kejam tadi, aku mengais kebersyukuran. Aku tahu, tanpa penerimaan jalan ini akan sulit kutapaki. Tanpa ketaqwaan hidup ini akan sepi kujalani. Maka kuraih kembali ruh semangatku yang hampir sepenuhnya lepas dari ragaku dan kukatakan lagi pada diriku:

Apapun yang terjadi,
Bertahanlah.
Kuatlah.
Tegaplah.


Entah sampai kapan.

No comments:

Post a Comment