Friday 19 May 2023

Arti Nama

"gy ap4h"
"lg ngerjain kasus niech"
"kasus paan sie"
"kasus klien lah. duh urusan personal blm kelar udh ngurusin idup orang ya. tp lbh gmpg ngurus idup orang e hhe"
"km mang terlahir ntuk itu"
"terlahir utk apa"
"menolong rang orang laen. km kan dewi jangan lupa"

Jujur, sebelumnya aku ga pernah peduli sama arti namaku. Sampe akhirnya ketemu sama Mas satu ini, yang selalu bawa-bawa urusan nama dalam menanggapi cerita-cerita dan keseharianku.

Di masa-masa awal ketemu Mas ini, dia tanya arti namaku. Dulu Ibu pernah ngasih tau asal-usul namaku yang dikasih kakaknya. Tapi karena lupa, akhirnya aku tanya lagi ke Ibu. Kata Ibu, namaku artinya "Dewi yang baik hati, membawa perdamaian/kebahagiaan" dari bahasa Yunani dan India (kayaknya yang dimaksud adalah gabungan bahasa Latin dan Sanskerta). Semenjak kusampein artinya ke Mas ini, bahasan nama ga pernah lepas dari obrolan.

"lg neng kosan koncoku"
"Kok iso entuk inez nginep2"
"mumpung bulan purnama"
"Pantes disebut dewi"

Disclaimer dulu, kami ga ada hubungan romantis, karena faktanya masih sama-sama saling sambat bab asmara masing-masing.

Kalau kucari di Google, memang arti namaku kurang lebih memang kayak yang disampaikan Ibu:
  • Nama depan, artinya suci dan naif (pure, white, lamb, holy, sacred, gorgeous, chaste, virginal)
  • Nama tengah, artinya kehidupan (Meaning "life," it'll be perfect for any little one who approaches everything with enthusiasm and passion, embracing their life with both hands. It's related to the name Livia, which comes from the name Olivia and means "olive." As the olive tree was used throughout history as a symbol of peace and harmony, it can also remind baby to balance their zest for life with gentleness)
  • Nama akhir, artinya dewi (derived from goddess Mahadevi who was worshiped in India in prehistoric times, Devi was a major goddess in the Hindu pantheon and was known to be kind yet fierce)

Di tengah-tengah jungkir balik hidup belakangan ini, aku jadi makin sering bertanya-tanya soal kehidupan. Kehidupanku, terutama. Bertanya-tanya kenapa aku harus melalui beberapa hal dalam hidupku (yang akhirnya aku disadarkan sama salah satu temen bahwa mempertanyakan takdir aja udah merupakan tindakan syirik, astaghfirullah maafkan). Hehe duh Nez, ndakik-ndakik ngomongin kehidupan terus. Coba hitung berapa kali Inez nulis kata 'kehidupan' di tulisannya.

Kami ga sering ngobrol bareng. Tapi ngobrol sama Mas ini emang selalu seru. Macem-macem hal diomongin, dari yang ringan sampe yang berat. Dari musik, satwa, budaya, politik, hal-hal klenik, sampe nasib juga dibahas. Curhat soal hal remeh atau berbagi joke receh juga masuk. Tapi kemaren pas lagi nge-down dan chatting-an trus dia mengangkat kembali topik nama (kali ini pake numerologi), aku jadi kepikiran sesuatu.

Chat bersama manusianya. Memang random tau-tau bahas numerologi namaku. Sebelumnya pun lagi ga bahas topik arti nama.

Gambar yang dikirimkan.

Bhaik, manusia ini berhasil bikin aku yakin bahwa aku kabotan jeneng. Setelah terakhir ketemu di Jogja bikin setongkrongan ngecek Primbon rame-rame, sekarang bawa-bawa numerologi. Mau komplain, tapi kok ya aku juga masih menikmati bahas astrologi sama kepribadian berdasar golongan darah, ndak malah dicacati balik. Jadi kubikin tulisan aja soalnya cukup menggelitik.

Jangan-jangan, jangan-jangan lho, memang aku dari segi doa dalam namanya aja udah terlalu berat. Ini terlepas dari bener-engganya wejangan "nama adalah doa", ya. Sebenernya aku pun ga ngerti kenapa ada orang yang namanya kayaknya buagus banget tapi sukses lancar nan bahagia, ada juga yang (mengutip kata orang) kena bala dan prihatin terus karena keberatan nama. Jadi tolak ukur berat doa dalam namanya berlebih itu gimana sih?

Kiriman teman 3 tahun yang lalu di grup magang. Waktu itu lagi rame bahas arti nama masing-masing di Urban Dictionary dan ngecek validitasnya.

Nggak bermaksud bilang hidupku rumit atau sulit, tapi memang ada bagian dari arti namaku yang rasa-rasanya termanifestasi di tantangan hidupku. Kemaren juga, aku baru sambat ke salah satu temen bahwa aku lagi capek karena banyak orang yang ngadunya ke aku, sementara aku masih memproses perasaanku sendiri tentang perkara-perkara yang mereka aduin [konteks nonprofesional]. Seiring berlarutnya obrolan kami, keluar celetukan dari mulutku, "Sebenernya Tuhan tu ngira aku sekuat apa sih kok dikasih cobaan segini beratnya? Kayak ga kelar-kelar satu masalah, udah dikasih yang lain. Aku ga dikasih napas." Selain sederetan siraman rohani, temen ini juga bilang, "Ya bagus to? Berarti kamu dipercaya buat ngalamin ini semua? Tinggal kamu minta dikuatin dan dilapangkan dadanya."

Lagi-lagi di luar konteks profesional, ga sekali dua kali aku jadi tempat cerita, tempat orang-orang membuka diri dan mengekspresikan perasaannya. Dari kecil, bisa dibilang aku sering jadi tempat curhat siapa aja. Segala jenis permasalahan, orang, dan situasi, udah kutemui dan kadang aku pun masih bingung menghadapinya. Banyak juga kalanya aku bisa memahami apa yang mereka rasain, karena aku udah pernah mengalami sendiri. Barangkali itu juga yang bikin orang-orang dateng ke aku, buat berbagi dan mempercayakan permasalahan mereka ke aku. Kita akan cenderung berbagi permasalahan ke orang-orang yang kita rasa paham kan? Mungkin mereka tau aku bakal bisa memahami.

Jangan-jangan, Tuhan ngasih aku jalan hidup yang nano-nano, banyak terjal dan jatuhnya, salah satunya biar aku bisa berbagi manfaat ke orang lain. Bisa membantu orang lain yang ngalami kesulitan dan kegelisahan yang serupa. Ini mirip sama apa yang disampein dua orang rekanku, calon psikolog juga. Mas yang satu bilang menurutnya aku punya strength yang 'spesial' karena aku, dengan segala rupa permasalahan dan konflik pribadiku, bisa berempati lebih dalam terhadap klien. Mbak yang lain bilang, bahwa dengan pengalaman personalku yang bisa melalui masalah-masalahku sendiri sekaligus bekal secara teori yang kupunya, aku selanjutnya bisa lebih membantu orang-orang yang mengalami masalah sama atau hampir sama. Tentunya psikolog-psikolog lain pun punya strength dan pengalaman masing-masing yang membantu proses profesionalnya, tapi seenggaknya dua hal itu yang pernah disampaikan calon sejawat ke aku.

Sebagaimanapun aku berusaha buat melihat hal-hal tadi sebagai anugerah, menjalaninya itu lho yang berat banget. Ada masalah personalku yang terus kuproses dan kuselesaikan, ada kewajiban dan tanggung jawab yang kuemban, dan yang terpenting ada emosiku sendiri yang juga berperan. Kadang, punya segudang pengetahuan dan pengalaman ga menjamin aku bisa memahami sesuatu seutuhnya, dan justru bikin aku kebingungan. Pun seenggaknya sampai sebelum ini, aku masih kadang (bisa dibilang) pamrih dengan apa yang kulakuin. Berharap orang lain juga melakukan hal yang sama buatku, memahamiku, atau seenggaknya sekadar ga menyakiti aja. Kemudian aku sadar, ga semua orang punya kapasitas yang sama, seberapapun mereka pengen melakukan hal yang sama. Aku pun punya kadar kebutuhan yang berbeda, jadi bisa aja mereka udah ngasih yang terbaik dari mereka, tapi memang belum cukup buatku.

Jadi ya, menjadi seorang empath (atau kata seorang rekan calon psikolog juga, mungkin aku memenuhi ciri-ciri Highly Sensitive Person) memang sepi dan sendu. Gimana ga kesepian kalau kamu bisa memahami hampir semua orang lain, tapi ga banyak yang bisa memahami kamu. Gimana ga sendu kalau kamu selalu jadi tempat 'singgah' orang lain untuk belajar atau berkawan singkat, tapi kamu sendiri belum menemukan ruang yang menentramkan diri. Udah cukup lama semenjak sadar ada anggapan ini, aku belajar buat memberi secukupnya. Bisa dibilang kayak tulisan kotak amal, "sedekah seikhlasnya", kasih apa yang aku bisa ikhlaskan buat kasih. Karena to be fair, aku pun juga ga sepenuhnya benar dengan merasa sanggup 'membantu' semua orang. Terbiasa jadi caregiver di rumah maupun luar rumah, ga membuatku otomatis punya kapasitasnya buat jadi hero. Ada batasan-batasan yang harus kuperhatikan.

We all come from different races, ethnicity, religion, beliefs, knowledge but we all have similar goals to help another person in the best way we can. One thing I’ve learned from the past year working as a nurse is that my sanity, my health, and myself is more important than my job. I had to learn it the hard way but I am thankful for the learning experiences and now I’m working on filling my cup instead of filling somebody else with something I don’t have. - ig: @nurse.johnn [https://www.instagram.com/p/Cr1koBfuM_X/]

Terlepas dari itu semua, aku seneng ngebantu orang, entah itu berhasil atau belum. Bener-bener seneng. Aku menikmati denger cerita orang dan hadir saat mereka cerita. Aku terhibur dengan berbagi apa yang aku punya. Apalagi, bisa liat orang yang kubantu nunjukkin ke aku bahwa mereka terbantu, entah itu lewat kata-kata langsung atau lewat ya... sekadar keberhasilan mereka sendiri. Itu melegakan, menghibur, dan membahagiakan. Liat orang lain seneng aja memuaskan buatku, dan aku tulus buat ini. Terutama ketika itu datang dari orang-orang yang lagi berjuang atau orang-orang terdekatku. Tingkat kebersyukuranku langsung nanjak drastis.

Kembali lagi ke konspirasi (atau realisasi) yang dipicu obrolan-obrolan sama 'Mas ini' di awal.

Jangan-jangan, kalau ditarik kembali, ini semua asal mulanya memang dari arti namaku...................

No comments:

Post a Comment