"Ya Allah, ternyata aku orang yang sangat disayang..." pikirku di pertengahan hari ini, yang mendorong jari-jariku untuk mengetik belasan hal baik mulai beberapa waktu lalu ke dalam catatan di HP.
Baru kemarin malam, aku bertemu Mas Bayu di salah satu warung kopi murah daerah kampus untuk menemaninya menyicil laporan. Berawal dari pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti, "Gimana kabarmu Nez?" "Tapi aman kan?" yang kujawab dengan singkat-enggan, suasana semakin cair seiring kami saling berbagi kondisi terkini kehidupan masing-masing. Pada satu titik ketika sedang bercerita ringan, air di mataku kabur dan suara di kerongkonganku hilang diganti rasa ngilu.
"Lho, kok nangis ya?" kataku terkikik sembari mencari tisu. "Kenapa nangis, dah? Aku gak mau nangis sumpah," timpalku segera sembari menyeka air mata. Niat hati ingin mendengar cerita Mas Bay saja, justru aku yang disimak baik-baik oleh dia. Respon-respon Mas Bay khas seorang kakak yang bijak, seorang psikolog, yang berusaha menetralkan perasaan tidak nyaman di lawan bicaranya. Tanggapan demi tanggapan ia berikan, yang tentu saja, "mental" di defense mechanism-ku yang menolak segala bentuk motivasi.
Aku tahu ini salah, aku tahu pikiran-pikiran ini tidak rasional, tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengatasinya...
Kenapa aku begini? Harusnya aku tidak seperti ini, harusnya aku bisa begitu...
Beberapa disonansi, jika tidak distorsi kognitif, tercetus dari mulutku. Mas Bay tetap saja sabar dan merespon dengan bijak meskipun sudah kuminta untuk kembali mengerjakan laporannya. Rupanya ia sudah lebih menguasai sikap profesional seorang psikolog. Aku seperti klien remaja yang sedang labil dan berkabut pikirannya, akhirnya menjawab tanggapan-tanggapan dan pertanyaan-pertanyaan dari Mas Bay dengan wajah memerah panas, suara tercekat, dan sesekali terisak-isak.
"Jangan terlalu keras ke dirimu sendiri Nez," "Kamu orang yang sangat sadar, cuma kamu belum bisa menerima aja," "Aku harap kamu bisa mengurangi menghakimi dirimu sendiri," "Dirimu sendiri juga perlu dicintai dan dihargai," "Aku yang udah tau kamu lama pun bisa liat kamu jauh berkembang," "Kamu punya modal yang sangat bagus dan ga semua orang punya buat jadi seorang psikolog," ... adalah beberapa penggalan kalimat yang cukup menyentuh ruang memoriku. Digarisbawahi dan ditebalkan, sehingga terngiang-ngiang. Khususnya nasehatnya di atas tentang realisasi dan penerimaan, yang membuatku déjà vu atas komentar Mbak Alya beberapa bulan lalu. Mungkin proses pendidikan mahasiswa Mapro Klinis yang mereka tempuh membentuk demikian, yang jelas aku turut berbangga.
Kira-kira setahun belakangan, hidupku disuguhkan dengan beberapa peristiwa besar yang cukup membuat diri hancur dan hilang arah. Sampai sekarang pun, usaha demi usaha yang kulakukan untuk berdamai dengan diri sendiri rasanya belum ada yang berhasil. Ratusan sampai ribuan keluh kesah dan umpatan sudah keluar dari mulutku untuk mengutuk hidup. "Adulting is hard as ****!" adalah yang paling sering kuucap karena, buatku memang sesulit itu menjadi dewasa. Kalau boleh memilih, rasanya sumpah akan kuambil untuk tidak tumbuh dewasa daripada dipaksa melalui proses pendewasaan diri lewat kemelut kehidupan.
I'm not even exaggerating, but I feel so alone these years... I am alone.
Safe to say 23 is the worst year for everyone's life.God, I'm not your strongest soldier!
"Udah pernah coba nulis hal-hal baik di hidupmu?" tanya Mas Bay kemarin, "Kamu tau kan, kalo ngomongin mental health, well-being itu proses yang butuh upaya aktif." Duar. Tertampar realisasi baru. Sepertinya memang tidak bisa diam saja, berpikir-merenung-melamun dan nggresulo, atau sekadar menggunakan emotion-focused coping, tiba-tiba kondisiku dan pribadiku menjadi lebih baik. Kalau mau berubah, harus ada tindakan yang dilakukan. Minimal seperti prinsip behavioral activation, mungkin. Dengan mental tempeku yang sudah jadi mendoan karena digilas kehidupan, aku masih bertahan. Pasti banyak yang bisa kusyukuri, besar ataupun kecil, meskipun saat ini belum tau apa. Sayangnya, wacana untuk memulai positive journaling belum terlaksana karena sesampainya di rumah, mata hanya sanggup menangis sampai tertidur.
—
Di pertengahan hari ini, tekadku untuk kembali menuliskan hal-hal baik semakin bulat. Terutama ketika bertemu beberapa orang yang membuat hati tersentuh. Karena sulit menemukan hal-hal baik dari dalam diri sendiri, aku mulai dari hal-hal yang disampaikan orang-orang lain yang membuatku mengucap hamdalah hingga tiga kali. Tentunya hal-hal di bawah tidak ditulis dengan niatan untuk membanggakan diri, tetapi mengapresiasi kebaikan orang-orang yang membuatku merasa disayangi dan diperhatikan dengan tulus.
"Cuma mau bilang, misalnya ada yang bisa aku bantu, berkabar ya Inez," ucap salah satu kakak tingkatku di Maprodik, yang sama sekali tidak dekat denganku. Kami belum pernah bertemu, bahkan aku hanya pernah sekali menghubunginya terkait wacana melanjutkan proyek serupa. Ruang chat yang sudah tidak pernah kulirik sedikitpun, kembali naik ke permukaan karena sapaannya. Mbak ini menghubungi terlebih dahulu, menanyakan kabar. Setelah sekadar kujawab dan kutanya kembali, ia menyampaikan kondisinya baik dan mengatakan hal tadi.
"Oooalahhh... lima tempat ya? Berat ya pendidikan..." Bu Susan berkata sembari tiba-tiba mendekat dan mengelus pundakku. "Yawes pokoknya semangat ya mbak, lancar-lancar. Kalo ada yang bisa tak bantu bilang ya mbak," aku tertawa kecil salah tingkah, mengucapkan terima kasih. Datang ke perpustakaan fakultas sudah jadi langganan ketika butuh referensi tugas akhir untuk tujuh kasus yang sedang kutangani. Bu Susan, petugas perpustakaan yang selalu kuganggu saat berkunjung semenjak S1, tidak absen menyapa dan membantu menyiapkan komputer di ruang ETD. Sesekali mengobrol ringan mengenai kabar masing-masing. Setelah tadi (16 Jan) melihat pengunjung satu ini masuk perpustakaan terengah-engah, dimulailah obrolan singkat mengenai kesibukan PKPP pendidikan dan ditutup dengan elusan pundak beliau yang membuat dada maknyes.
"Kamu tu kuat lho, bisa kuliah angel kayak gini apa gak hebat? Aku aja bangga sama kamu kok, masak kamu sendiri enggak?" Pak Agus, staf fakultas yang suka memanggil 'sayang' dan 'cantik' untukku tanpa konsensus berkata demikian saat berpapasan denganku di Plaza BI. Pembicaraan kami selalu tidak berpola dan diisi celetukan-celetukan aneh. Tapi nadanya berubah serius ketika mulutku menyeletuk enteng dengan nada bercanda, bahwa sepertinya kecakapanku kurang mumpuni untuk menempuh studiku saat ini. Bisa juga anda pak. Usia ternyata memang bisa meningkatkan kebijaksanaan ya.
"Mbak Inez, di rumah mendung buanget. Semisal ga bisa hari ini gapapa diganti lain hari, daripada mbak kehujanan dan kena angin, kasian," ibu salah satu klien anak mengirim pesan demikian. Rencananya hari ini (16 Jan) aku akan berkunjung ke rumahnya menyampaikan hasil asesmen dan program pendampingan. Ternyata dari lokasiku yaitu kampus, air langit hanya turun tipis-tipis sehingga niatku berkunjung tidak kuurungkan. Setelah menyelesaikan kegiatan nonformal bersama klien, aku pamit pulang. Di pintu, ibu klien berucap, "Makasih ya mbak, udah sabar sama [nama klien]." Ibu tidak tahu hati ini sedang gonjang-ganjing dan cukup tersentuh sampai mewek di jalan pulang.
"Miss Inez, ada waktu? Kita makan siang dulu sebentar di tempat pizza bisa? Sambil kita ngobrol-ngobrol." Kalimat pembuka yang disampaikan ibu klien anak yang lain, yang cukup membuat jantung berdebar-debar dan lemas. Rupanya, pertemuan berujung pembicaraan yang lebih intim dan traktiran pizza untuk kumakan di tempat dan kubawa pulang. "Saya ngerasa [nama klien] sudah cocok sama Miss Inez, jadi minta tolong bantuannya aja ya Miss." Alhamdulillah, setelah berkali-kali kejadian menantang yang bikin senam jantung, kalimat itu terucap dari ibu klien meskipun tidak mudah menerima kondisi anaknya sekarang.
"Terima kasih pemaparannya mbak Inez, telaten sekali selama ini," puji salah satu supervisorku ketika ujian kasus pertama. Klien remaja ini cukup menantang dan membingungkan, dan beliau rupanya cukup memahami jatuh-bangunku sebelumnya saat berganti klien hingga empat kali. Mendapat penilaian 'telaten' tentu bukan hal sehari-hari buatku. Bahkan, studiku saat ini terkenal minim apresiasi dan tinggi kritik.
"Ka Inez, thank you, ngobrol sama kaka bener-bener insightful dan bikin aku kayak, wow gila bener semua sih yang kaka bilang??? And it's helped me a lot kak. Kaka lancar-lancar ya kuliahnya." Pengalaman konseling klien dewasa yang satu ini benar-benar menyenangkan karena terasa seperti mengobrol dengan bestie sendiri. Bestie yang dari Jaksel pula. Dengan segala tingkah dan gesturnya yang ekspresif, daku merasa sangat dipercaya. Penutup sesi pertama (dan juga jadi yang terakhir) dengan klien ini ditutup dengan riviu sukarelanya yang membuatku sumringah di jalan pulang.
"... Salah satunya mbak. Kayak, ngerasa Mbak Inez itu kakak yang mau ngebantuin aku dan lebih banyak ilmunya ..." Klien remaja lain justru menjelaskan demikian saat kutanya mengenai sikap terhadap figur otoritas. Selain ulasan spontannya yang cukup menyentuh ini, stiker-stiker WhatsApp yang cukup lovely dan quirky darinya juga rupanya bisa menghibur hari-hariku.
"Mbak, mbak baik banget udah mau nemenin aku di saat tersulitku," kata seorang adik tingkat yang sudah berulangkali mengirimkan pesan serupa sebelumnya hanya karena aku membantu memberi solusi-solusi remeh mengatasi patah hati disakiti perempuan idamannya.
"... Terimakasih selalu berusaha membuat orang-orang merasa dicintai," segelintir pesan dari teman yang kukirimi kado tahun baru hanya karena merasa aku tidak pernah memberikan kenang-kenangan apapun selama berdinamika bersama. "Paling bisa deh ngasih kado yang ngena di hati orang," kata yang lain.
"Kamu udah kuat bertahan sendiri, kamu juga pasti bisa bertahan lebih lanjut sendirian. Please don't be so hard on yourself, you're doing the best you can with everything you know." Mbak Alya selalu bisa ngasih komentar dan pesan-pesan yang berkesan dan well-said tanpa bikin risih sedikitpun.
"Thank you for always being there for me Nem," "You're so real chatmu tak star," beberapa dari banyaknya bom pesan-pesan mleyot-able yang dikirim Cacak padaku selama kami saling kenal. Aku beruntung manusia ini dilahirkan ke dunia dan jadi sahabatku.
"... And whenever you do that, please remember people around you who love you, don't like to see you hurt and sad because of that little wish of yours. Because seeing you sad and hurt makes us sad too..." Naya itu memang mulutnya bisa sepedas cabai tapi bisa selembut es krim miksye. Ini salah satu dari beberapa chat-nya yang kubintang karena kata-katanya bikin adem ayem.
"Nez, kamu tuh punya kemampuan. Penyakitmu itu selalu dari dulu merasa ga mampu, padahal kamu terus menerus berkembang sampai di posisi yang sekarang utik pun liatnya bangga. Jadi jangan pernah takut untuk melangkah," siapa lagi penyetor petuah-petuah hidup berarga di hidupku yang memang sudah makan asam garam kehidupan, kalau bukan utik. Setiap hari, selalu ada ilmu dan nasehat yang diberi utik. Sampai menyesal aku selalu batal mencatat kata-kata utik.
"Nez, udah pulang?" "Nez, selo ga? Ayo ketemuan," "Kamu sehat? Keluarga sehat?" manusia ini langganan ngebom kasih sayang lewat kata-kata dan bantuan teknis.
"Udah makan belum?" "Jangan lupa makan ya," "Udah daftar ke dokter?" "Sekarang di mana? Udah malem, udah sepi," Ibu selalu berhasil bikin panik tipis-tipis lewat pesannya yang bikin ingat belum-makan belum-pulang belum-lain-lain. Tapi tentunya rasa sayang dan perhatiannya tetap sampai ke hati.
"Hati-hati ya mbak, met seneng-seneng," pesan-pesan kecil nan random dari Cacha adikku tidak pernah gagal bikin ambyar. Soalnya, bocah satu ini jarang banget menunjukkan perhatian lewat kata-kata manis. Sekalinya demikian, momennya pasti bikin mikir "kok ya kepikiran?"
Masih banyak ucapan-ucapan dari orang-orang lain yang cukup jadi bahan bakarku untuk bertahan melewati tahun ini. Telepon mendadak, bombardir pesan, kiriman barang, ajakan pergi, masakan, playlist Spotify khusus buatku, tanggapan-tanggapan di NGLlink, dan sebagainya, masih sering dan makin sering kuterima. Kehangatan, kasih sayang, perhatian, bantuan dalam bentuk apapun sangat menjadi penguat keyakinanku, bahwa aku diberkahi dengan banyak orang-orang yang hebat dan baik hati dalam hidup. Dekat maupun tidak dekat, kenal maupun tidak kenal.
Sekalipun datang dan pergi, dan kesendirian tetap selalu hadir, aku mensyukuri orang-orang baik di dunia ini. Rupanya di hidupku sendiri selalu ada orang baik yang membantuku, yang tulus menerima, menghargai, bahkan mensyukuri keberadaanku dengan kondisiku yang serba kekurangan ini. Sekadar mengisi kesunyian dan membawa keramaian pun terkadang cukup buatku. Ke mana saja kesadaranku selama ini? Menyepelekan tindakan-tindakan kebaikan dari orang lain? Kenapa aku sering mengkerdilkan pencapaian diri? Bukannya baru hari ini mata ini melihat ibu tua di jalan menggunakan baju lusuh dan tanpa alas kaki masih tersenyum lebih lebar daripada senyumku hari ini?
Kadang aku sadar bahwa lebih mudah mempercayai irrational belief daripada menantangnya dengan keyakinan yang lebih rasional dan dengan demikian, harus kuupayakan untuk dilawan. Tetapi, kadang pikiranku terlalu berkabut dan perasaan terlalu penuh untuk sekadar menyadari. Aku rasa benar kata Mas Bayu, bahwa turbulensi akan selalu ada sampai kapanpun. Proses perjalanan kita lah yang menjadikan diri lebih kuat dan bijak menghadapinya. Kembali lagi, healing is not linear, dan tidak apa-apa untuk ambyar lagi di masa depan bahkan ketika kita merasa cukup yakin bahwa sudah 'sembuh'.
Mengingat kata Mas Bayu juga, aku akan berusaha (kali ini lebih giat lagi) untuk menyadari dan mengapresiasi hal-hal positif; mengurangi menghakimi diri sendiri dan menuntut diri terlalu keras; berhenti bertanya-tanya "Kenapa? Sampai kapan?" Kembali ke prioritas utamaku: belajar menerima segala sesuatu apa adanya dan dengan lapang dada. Of what if's and what could have been's, semoga pikir bisa terus mengingat banyak hal-hal baik untuk disyukuri.
No comments:
Post a Comment